Model AI Guncang Dunia Mode: Vogue Picu Kontroversi Besar

Model AI Guncang Dunia Mode: Vogue Picu Kontroversi Besar

Kehadiran model AI dalam iklan majalah Vogue menimbulkan perdebatan sengit di industri fashion. Keputusan Guess menggunakan model virtual berambut pirang untuk kampanye musim panas mereka menjadi sorotan tajam di tengah kekhawatiran tentang standar kecantikan tidak realistis dan masa depan model manusia.

Ini adalah pertama kalinya majalah bergengsi Vogue menampilkan model AI, meskipun pihak majalah dengan cepat menegaskan bahwa ini adalah konten iklan, bukan editorial. Kampanye kontroversial ini dikembangkan oleh perusahaan AI Seraphinne Vallora, yang menciptakan model virtual atas permintaan pendiri Guess, Paul Marciano.

Para kritikus, termasuk model plus-size dan aktivis industri, menganggap langkah ini sebagai "malas dan murah" yang bisa mengancam kemajuan keberagaman dalam dunia fashion. Sementara itu, pengembang AI mengklaim teknologi mereka hanya memberikan "pilihan lain" bagi perusahaan, meskipun situs web mereka dengan jelas memasarkan solusi ini untuk menghemat biaya.

Revolusi Digital yang Mengancam Dunia Mode

Fenomena model AI dalam kampanye Guess merupakan tonggak penting dalam perubahan lanskap industri fashion. Model virtual yang dikembangkan oleh Seraphinne Vallora membutuhkan waktu hingga satu bulan untuk menyelesaikan satu model, dengan biaya layanan mencapai enam digit untuk klien besar.

Perkembangan ini terjadi dalam konteks digitalisasi yang semakin masif di industri mode global. Vogue, sebagai salah satu majalah fashion terkemuka dunia, membuka pintu legitimasi bagi kehadiran model AI dengan menerima iklan tersebut, meskipun pihak majalah menolak berkomentar lebih jauh.

Model plus-size Felicity Hayward menjadi salah satu suara kritis terdepan, menyebut keputusan ini sebagai "tendangan lain di gigi" yang akan berdampak tidak proporsional pada model plus-size. Kritik ini menyoroti kekhawatiran tentang kemungkinan tergerusnya kemajuan keberagaman yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun.

Para pendiri Seraphinne Vallora, Valentina Gonzalez dan Andreea Petrescu, mengklaim tidak menciptakan "tampilan yang tidak dapat dicapai", tetapi mengakui kurangnya keberagaman dalam konten Instagram mereka. Alasan yang diutarakan adalah rendahnya keterlibatan pengguna pada gambar model dengan warna kulit berbeda.

Lebih mengkhawatirkan lagi, perusahaan mengakui belum menciptakan model AI plus-size dengan alasan "teknologi belum cukup maju untuk itu" - pengakuan yang semakin memperkuat kritik tentang bias dalam pengembangan teknologi AI.

Dampak Berbahaya pada Standar Kecantikan

Kehadiran model AI dalam iklan fashion membawa implikasi serius terhadap standar kecantikan yang sudah problematik. Pada 2024, merek Dove meluncurkan kampanye yang menyoroti bias AI, menunjukkan generator gambar yang berulang kali menghasilkan gambar wanita kurus, berkulit putih, dan berambut pirang - serupa dengan model AI Guess.

Vanessa Longley, CEO organisasi amal untuk gangguan makan Beat, mengungkapkan kekhawatirannya: "Jika orang terpapar gambar tubuh yang tidak realistis, hal itu dapat memengaruhi pemikiran mereka tentang tubuh mereka sendiri." Pernyataan ini menegaskan bahaya potensial dari normalisasi tubuh yang dihasilkan AI.

Sinead Bovell, pengusaha teknologi dan mantan model, menekankan pentingnya transparansi dalam era digital ini. Dia menunjukkan fenomena yang sudah terjadi di mana "ada gadis-gadis muda yang menjalani operasi plastik untuk terlihat seperti wajah dalam filter - dan sekarang kita melihat orang-orang yang sepenuhnya buatan."

Sara Ziff, pendiri Model Alliance, mengkritisi kampanye Guess sebagai "kurang tentang inovasi dan lebih tentang keputusasaan dan kebutuhan untuk memangkas biaya." Dia memperingatkan bahwa AI dapat menggantikan tidak hanya model, tetapi juga tenaga kerja yang lebih luas yang terlibat dalam pemotretan fashion.

Meskipun Seraphinne Vallora bersikeras bahwa teknologi mereka tidak menggantikan pekerja, situs web mereka dengan jelas memasarkan AI sebagai solusi hemat biaya yang "menghilangkan kebutuhan akan pengaturan mahal... menyewa model." Kontradiksi ini semakin mempertegas kekhawatiran para kritikus.

Kontras dengan Fenomena di Indonesia

Menariknya, fenomena penggunaan model AI dalam iklan di Indonesia menunjukkan dinamika yang sangat berbeda. Di tanah air, sudah banyak iklan yang memanfaatkan teknologi AI untuk menciptakan visual dan model virtual, namun tidak menimbulkan kontroversi seperti yang terjadi di pasar Barat.

Perbedaan respon ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor budaya dan konteks sosial yang berbeda. Masyarakat Indonesia cenderung lebih terbuka terhadap inovasi teknologi dalam periklanan, dengan fokus lebih pada manfaat praktis daripada implikasi etis yang lebih luas.

Beberapa pakar industri kreatif lokal berpendapat bahwa absennya kontroversi ini juga bisa disebabkan oleh tahap awal adopsi teknologi, di mana diskusi kritis belum sepenuhnya berkembang. Hal ini berbeda dengan pasar Barat yang telah lama memiliki gerakan aktivisme yang kuat terkait representasi dan keberagaman dalam media.

Masa Depan yang Tidak Pasti

Bovell memperkirakan model AI akan semakin umum di masa depan, meskipun tidak akan mendominasi. Dia membayangkan masa depan di mana konsumen menciptakan avatar AI pribadi untuk mencoba pakaian, namun dia juga mencatat bahwa masyarakat pada akhirnya mungkin menolak model virtual karena kesempurnaan mereka yang tidak dapat dicapai.

Perkembangan ini mencerminkan perubahan fundamental dalam cara industri fashion beroperasi dan berinteraksi dengan konsumen. Keseimbangan antara inovasi teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan seperti keberagaman dan standar kecantikan yang sehat akan terus menjadi perdebatan penting dalam tahun-tahun mendatang.

Sementara industri fashion terus beradaptasi dengan teknologi baru, pertanyaan tentang etika, representasi, dan dampak sosial akan semakin mendesak. Kasus Vogue-Guess ini mungkin hanya permulaan dari transformasi besar dalam lanskap media dan periklanan global, meskipun respon terhadap perubahan ini akan bervariasi di berbagai pasar dan budaya, seperti yang terlihat dari kontras antara Amerika dan Indonesia.

(Burung Hantu Infratek / Berbagai Sumber)