AWS Tertinggal di Race Cloud AI, Project Rainier Jadi Senjata Comeback

AWS Tertinggal di Race Cloud AI, Project Rainier Jadi Senjata Comeback

Analis top Wall Street dari Bernstein, Mark Shmulik, mengonfirmasi dalam laporan investor pada 23 Oktober 2025 bahwa Amazon Web Services (AWS) berada di "posisi terakhir" dalam perlombaan cloud AI, dengan pertumbuhan pendapatan yang lebih lambat, kapasitas GPU terbatas, dan banyak startup AI membangun infrastruktur di tempat lain. Namun berbeda dengan kasus MySpace atau Netscape yang tumbang karena ketinggalan teknologi, Shmulik berpendapat ini bukan "vonis mati" untuk AWS. Dengan kemitraan strategis bersama Anthropic melalui Project Rainier, peningkatan keterlibatan developer, dan proyeksi pendapatan $127 miliar di 2025, AWS menunjukkan tanda-tanda comeback yang menjanjikan. Bagi software developer AI dan pengembang aplikasi AI, situasi AWS mendemonstrasikan bahwa bahkan pemimpin pasar bisa tertinggal dalam transformasi teknologi, namun kedalaman sumber daya dan kemitraan strategis dapat mengubah narasi.[1][2]

Data yang Mengkhawatirkan: Azure dan Google Cloud Meninggalkan AWS

Laporan kuartal kedua 2025 mengungkapkan kesenjangan pertumbuhan yang signifikan antar pemain cloud besar. AWS meraup $30.9 miliar dengan pertumbuhan hanya 17.5% per tahun, sementara Microsoft Azure tumbuh 39% dan Google Cloud Platform 32% untuk periode yang sama. Microsoft Azure kini hampir menyamai pendapatan AWS di $29.9 miliar dan mencatat profit tertinggi di $12.1 miliar, didorong oleh kemitraan awal dengan OpenAI yang memberikan keunggulan strategis dalam layanan AI seperti ChatGPT yang berjalan di Azure.[2]

Google Cloud menunjukkan akselerasi paling mengesankan dengan pendapatan $13.6 miliar yang tumbuh 32%, dan yang lebih penting lagi, turnaround finansial yang impresif dengan margin operasi mencapai 20.7% dan pendapatan operasi $2.8 miliar. Keunggulan Google terletak pada penawaran lengkap yang mencakup model Gemini AI internal, chip AI khusus yang disebut TPU, dan isu kapasitas yang lebih sedikit dibanding kompetitor.[2][1]

Yang lebih mengkhawatirkan bagi AWS, dokumen internal yang bocor minggu lalu mengungkapkan bahwa startup AI menunda pengeluaran di AWS, menciptakan pergeseran fundamental dalam bagaimana perusahaan-perusahaan ini membelanjakan uang untuk layanan cloud computing. Banyak startup AI baru sekarang membangun infrastruktur di platform lain, mengikis dominasi AWS yang sebelumnya tidak tertandingi.[3]

Saham Amazon menjadi yang paling tertinggal tahun ini dibanding Microsoft dan Google, dengan investor semakin khawatir bahwa perusahaan benar-benar di posisi terakhir dalam AI. Margin operasi AWS turun ke 32.9%, dan meski masih menguntungkan, penurunan pengembalian aset membuat investor mempertanyakan kapan pengeluaran besar-besaran AWS untuk AI akan terbayar. Analis juga mempertanyakan strategi chip kustom AWS, khususnya chip Trainium mereka, apakah akan benar-benar berhasil dalam jangka panjang.[2]

Bukan Vonis Mati: Precedent Meta dan Google

Shmulik berargumen bahwa tertinggal dalam tren teknologi tidak selalu fatal, dengan menunjuk pada contoh terkini di mana raksasa teknologi incumbent berhasil mempertahankan posisi mereka melawan rival yang tumbuh cepat. Meta berhasil bangkit setelah kebangkitan TikTok, dan Google pulih dari shock awal ChatGPT. Jika AWS dapat menggambarkan comeback serupa, ini bisa mengubah narasi menjelang konferensi AWS re:Invent akhir tahun ini.[1]

Tanda-tanda kemajuan awal memang mulai terlihat. AWS mencatat kuartal terbaik kedua sepanjang masa untuk pertumbuhan dolar baru bersih di Q2 2025. Meski masih mengalami kendala kapasitas, situasi ini mulai mereda. Yang paling krusial, AWS memiliki backlog $195 miliar, artinya pelanggan sudah berkomitmen untuk menghabiskan sejumlah itu dengan AWS dalam beberapa tahun mendatang, meski AWS belum bisa memberikan semua permintaan secepat yang pelanggan inginkan.[2]

Keterlibatan developer dengan layanan AWS meningkat sejak awal tahun dan mendapat momentum lebih besar selama musim panas. Shmulik memperkirakan pertumbuhan pendapatan lebih kuat untuk AWS di kuartal ketiga, dengan ekspektasi untuk peningkatan berkelanjutan di kuartal keempat. Bernstein melihat pendapatan AWS tumbuh 18% tahun ini ke $127 miliar, dengan proyeksi 21% pertumbuhan di 2026 dan 2027.[1]

Project Rainier: Senjata Utama dengan Investasi $8 Miliar

Shmulik menyoroti kemitraan AWS dengan Anthropic sebagai katalisator pertumbuhan utama. Amazon telah menginvestasikan setidaknya $8 miliar di startup AI ini dan bekerja sama dalam inisiatif supercomputer AI baru bernama Project Rainier, yang menggunakan chip AI kustom Amazon, Trainium2 accelerators dari Annapurna Labs.[1]

Project Rainier adalah salah satu proyek paling ambisius Amazon hingga saat ini, sebuah mesin masif yang tersebar di berbagai lokasi di Amerika Serikat, menggunakan ratusan ribu Trainium2 accelerator. Satu lokasi saja di Indiana akan menampung 30 pusat data dengan ukuran masing-masing 200,000 kaki persegi, mengkonsumsi lebih dari 2.2 gigawatt listrik. Ini adalah penerapan terbesar chip AI Annapurna yang pernah ada.[4]

"Google telah menjadi penyedia komputasi utama Anthropic sejauh ini, terutama untuk inferencing," tulis analis. "Project Rainier yang online akan mengubah dinamika ini." Berbeda dengan Stargate milik OpenAI, Colossus milik xAI, atau Project Ceiba milik AWS sendiri yang menggunakan GPU, Project Rainier menggunakan chip Trainium2, sebuah taruhan besar bahwa chip kustom dapat bersaing dengan dominasi NVIDIA di infrastruktur AI.[1]

Bernstein memperkirakan bahwa Project Rainier bisa menyumbang hingga 2.6% dari pendapatan AWS di 2026 dan berpotensi lebih dari 4% di 2027. "Ini adalah pertama kalinya kami membangun kluster pelatihan dengan skala begitu besar yang memungkinkan pelanggan, dalam hal ini Anthropic, untuk melatih satu model di seluruh infrastruktur itu," kata Gadi Hutt, Director of Product and Customer Engineering di Annapurna Labs.[4]

Implikasi untuk Developer AI Indonesia: Pelajaran dalam Comeback Strategis

Untuk pengembang aplikasi AI dan software developer AI di Indonesia, situasi AWS menawarkan beberapa pembelajaran strategis penting. Pertama, bahkan pemimpin pasar yang dominan dapat tertinggal ketika transformasi teknologi besar terjadi. AWS yang menguasai cloud computing selama lebih dari dekade sekarang harus berjuang melawan Microsoft dan Google dalam perlombaan cloud AI, demonstrasi bahwa tidak ada posisi yang benar-benar aman dalam teknologi.

Kedua, ketinggalan tidak berarti kalah. Respons AWS melalui investasi masif (lebih dari $100 miliar untuk infrastruktur), kemitraan strategis dengan Anthropic, dan strategi perangkat keras kustom (chip Trainium) menunjukkan bahwa incumbent dengan sumber daya dalam dapat melakukan comeback jika bertindak tegas. Untuk developer Indonesia yang membangun startup atau produk, ini pengingat bahwa pivot dan adaptasi lebih penting dari keunggulan sebagai pelopor.

Ketiga, kemitraan strategis dapat mengubah permainan. Kemitraan Microsoft dengan OpenAI memberi mereka awal yang signifikan. AWS sekarang bertaruh besar pada kemitraan Anthropic. Jika model Claude menjadi alternatif kompetitif ke GPT, ini bisa menyalurkan beban kerja masif ke infrastruktur AWS. Untuk developers di Indonesia, pertanyaannya: kemitraan strategis mana yang dapat mempercepat pertumbuhan dan mengurangi kerugian kompetitif?

Keempat, strategi perangkat keras kustom adalah permainan berisiko tinggi dengan imbalan tinggi. AWS bertaruh bahwa chip Trainium dapat bersaing dengan GPU NVIDIA. Jika berhasil, ini pengubah permainan untuk margin dan diferensiasi. Jika tidak, ini pengalih perhatian yang mahal. Untuk developer Indonesia, analogi-nya adalah: kapan masuk akal untuk membangun teknologi proprietary versus memanfaatkan platform yang ada? Project Rainier akan menjadi studi kasus krusial untuk pertanyaan strategis ini dalam beberapa tahun mendatang.

Yang jelas, perlombaan cloud AI masih terbuka lebar. Ketiga raksasa berencana menghabiskan $240 miliar di 2025 saja untuk membangun lebih banyak pusat data dan kemampuan AI, jauh lebih besar dari $25 miliar pendapatan terkait AI yang diharapkan di 2025. Ini menunjukkan betapa kuatnya mereka percaya bahwa AI adalah masa depan cloud computing, dan bersedia mengambil kerugian jangka pendek yang masif untuk memposisikan diri untuk dominasi jangka panjang.[2]

(Burung Hantu Infratek / Business Insider / Revolgy)


⚠️ Berita ini seluruhnya diriset, ditulis, dan dikembangkan oleh AI internal Burung Hantu Infratek. Mohon maaf apabila terdapat ketidakakuratan pada data aktual.


Berita Terkait

Google Cloud Perkuat Kemitraan dengan OpenAI

Iconiq Siap Investasi Rp 77,5 Triliun ke Startup AI Anthropic

Anthropic Tendang OpenAI Dari Akses Claude

Amazon Akuisisi Bee, Wearable AI Perekam Ucapan

Anthropic Siapkan $10 Miliar Bangun AI Masa Depan


Sumber dan Referensi

[1] Amazon is 'last place' in the AI cloud race - Business Insider

[2] Who's winning the Q2 2025 AI cloud race - Revolgy

[3] AWS Launches Project Rainier - Cloud Wars

[4] Internal Amazon documents on AI startups - Business Insider

[5] Amazon's Project Rainier AI Supercomputer - The Register