AI Picu Krisis Kesehatan Mental Global

Berbagai laporan terbaru menunjukkan adanya fenomena ketertarikan berlebihan terhadap AI yang berdampak negatif pada kesehatan mental penggunanya. Kasus-kasus "AI psychosis" mulai muncul di berbagai belahan dunia, memunculkan kekhawatiran serius di kalangan pakar kesehatan mental.
Keprihatinan ini mencuat ke permukaan setelah Geoff Lewis, seorang investor awal OpenAI, mengunggah video yang mengkhawatirkan di media sosial. Video tersebut menggambarkan teori konspirasi tentang "sistem non-pemerintah" yang diduga menjadikan dirinya sebagai target.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang dampak penggunaan AI yang intensif terhadap kesehatan mental, terutama bagi individu yang rentan. Para ahli mulai mempertimbangkan apakah "AI psychosis" perlu diakui secara resmi sebagai kondisi psikiatris.
Ketika Percakapan Biasa Berubah Menjadi Obsesi
Hubungan obsesif dengan AI sering bermula dari percakapan sederhana. Dalam satu kasus yang dilaporkan oleh Futurism, seorang pria awalnya hanya bertanya kepada ChatGPT tentang proyek permakultur dan konstruksi. Namun, dialog tersebut dengan cepat berkembang menjadi diskusi filosofis yang luas.
Perubahan ini kemudian mendorong pria tersebut mengembangkan kompleks Mesias, mengklaim telah "mematahkan" matematika dan fisika, serta bertekad menyelamatkan dunia. Akibatnya, ia kehilangan pekerjaan, mencoba bunuh diri, dan akhirnya dirawat di fasilitas psikiatri.
Kasus lain melibatkan seorang pengajar yang melaporkan pasangannya mengalami "AI psychosis". Pria tersebut mengklaim bahwa ChatGPT membantunya menciptakan "AI rekursif pertama di dunia yang memberikan jawaban atas semesta". Ia bahkan mengancam akan meninggalkan pasangannya jika tidak mulai menggunakan AI.
Tragisnya, dampak obsesi AI bisa lebih buruk lagi. Sewell Seltzer III, remaja berusia 14 tahun, meninggal bunuh diri setelah mengembangkan hubungan romantis dengan karakter AI Daenerys Targaryen dari Game of Thrones di platform Character.AI. Gugatan yang diajukan ibunya menggambarkan pengalaman "antropomorfik, hiperseksual, dan menakutkan realistis" yang dialami putranya.
Etienne Brisson, yang menjalankan kelompok dukungan privat bernama The Spiral untuk membantu penderita "AI psychosis", menyatakan telah mendokumentasikan lebih dari 30 kasus psikosis akibat penggunaan AI. Ia juga mendirikan The Human Line Project untuk melindungi kesejahteraan emosional dan mendokumentasikan kasus-kasus psikosis AI.
Penyebab atau Pemicu?
Pertanyaan krusial yang muncul adalah apakah AI benar-benar menyebabkan gangguan mental ini atau hanya memicu kecenderungan yang sudah ada. "Hubungan sebab-akibat belum terbukti untuk kasus-kasus ini karena masih sangat baru, tetapi hampir semua kisah dimulai dengan penggunaan AI secara intensif," ungkap Brisson.
Menurut Brisson, korban "AI psychosis" berasal dari berbagai latar belakang profesional seperti pengacara, perawat, jurnalis, dan akuntan. Yang mengkhawatirkan, "Semua dari mereka tidak memiliki riwayat gangguan mental sebelumnya," tambahnya.
Namun, Dr. Ragy Girgis, direktur Center of Prevention and Evaluation di New York State Psychiatric Institute dan profesor psikiatri klinis di Universitas Columbia, berpendapat bahwa pada banyak kasus, kondisi untuk psikosis semacam ini biasanya sudah ada sebelumnya. Menurut Girgis, individu dengan struktur karakter tertentu umumnya memiliki difusi identitas, mekanisme pertahanan berbasis pemisahan, dan pengujian realitas yang buruk saat stres.
Penelitian dari MIT dan OpenAI yang dirilis pada Maret lalu telah melacak beberapa efek mental penggunaan teknologi AI. Studi tersebut menemukan bahwa penggunaan intensitas tinggi dapat meningkatkan perasaan kesepian, terutama pada orang dengan kecenderungan keterikatan emosional yang kuat dan kepercayaan tinggi pada chatbot AI.
Temuan ini dirilis sebulan setelah OpenAI mengumumkan akan memperluas fitur memori di ChatGPT, yang secara otomatis mengingat detail tentang pengguna, termasuk keadaan hidup dan preferensi mereka, untuk digunakan dalam percakapan selanjutnya.
Menuju Krisis Kesehatan Mental Global?
Apakah "AI psychosis" perlu diakui secara resmi dalam lingkaran psikiatri? Dr. Girgis menyatakan bahwa hambatan terbesar adalah kelangkaannya. "Saya tidak mengetahui adanya kemajuan dalam pengakuan resmi psikosis AI sebagai kondisi psikiatris formal. Saat ini masih sangat langka. Saya hanya mengetahui beberapa kasus yang dilaporkan," jelasnya.
Namun, Brisson yakin bahwa kasus-kasus semacam ini mungkin jauh lebih banyak, terutama mengingat banyaknya orang yang menggunakan alat AI untuk berbagai keperluan. Sekilas pandang di Reddit menunjukkan banyak percakapan di mana orang menggunakan model statistik canggih ini untuk terapi pribadi.
"Ini perlu diperlakukan sebagai potensi krisis kesehatan mental global," tegasnya. "Pembuat undang-undang dan regulator perlu menganggap ini serius dan mengambil tindakan."
(Burung Hantu Infratek / Berbagai Sumber)
